02 03 04

Selasa, 16 November 2010

TUJUAN HIDUP

Tujuan Hidup

Hal menarik dibalik Idul Qurban dan yang mungkin luput dari perhatian kita adalah bagaimana perilaku hewan qurban, misalnya Kambing saat akan disembelih. Sejak dibeli hingga diserahkan kepada panitia kurban, si Kambing tidak tahu jika ia akan dipotong, ia makan dan minum sekenyangnya, kemanapun digiring selalu turut, jika tahu mungkin akan mogok makan, atau memberontak untuk melepaskan diri dengan menyerang orang-orang disekitarnya. Ia tidak peduli bahwa Sakratul Maut sudah dekat - kematian akan menjemputnya. Itulah Kambing, mereka tidak punya tujuan hidup, berbeda dengan manusia yang diciptakan olehNya dengan kesempurnaan, Allah memberi kita akal untuk berfikir, mata untuk melihat, telinga untuk mendengar, dan hati untuk merasa. Kesempurnaan manusia diciptakan adalah dengan tujuan dan pada saatnya akan dikembalikan untuk mempertanggungjawabkan amal perbuatan. Tujuan manusia adalah sejahtera dunia dan akhirat sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat Maryam (QS.19:13), “Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali”. Maupun seperti yang selalu diikrarkan minimal lima kali sehari, yaitu saat Shalat (takbiratul ihram), "Inna shalati wa nusuki wa mahyaya wa mamati lillahi rabbil ‘alamin", Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. (QS. Al An’am, 6:162) Setiap shalat berarti kita komit dengan ucapan tersebut, maka apapun aktifitas dan langkah kita adalah hanya untuk Sang Pencipta tiada zat lain selainNya. Jadi jika perbuatan kita bertentangan dengan kehendakNya berarti “Omdo”, omong doang. Dalam keseharian misalnya, bagaimana jika bertemu dengan orang yang ingkar janji, barangkali dalam hati akan mengatakan “Hah...payah, dia tidak bisa dipercaya, omongannya juga tidak bisa dipegang...”, dan seterusnya. Itu baru dengan sesama manusia, bagaimana jika ingkar dengan Allah, pastilah Allah murka terhadap orang yang mengatakan apa yang tidak dilakukan atau munafik, na’udzubillahi mindzalik.

Esensi dari komitmen tersebut menghendaki keselarasan ucapan dan perbuatan dengan melakukan perbuatan baik yang diridhoi dan semata-mata karena Allah SWT, sebagai bekal pertemuan denganNya. Unsur terpenting dari hal tersebut adalah keikhlasan tanpa pamrih dan tidak mengharap pujian dari manusia. Sehingga bila sampai hari ini kita masih dilanda stress, gelisah, dendam, iri hati, kecewa, dst. yang bertentangan dengan keikhlasan, berarti belum sepenuhnya paham akan tujuan tersebut. Oleh karena itu perlu direnungkan kembali hakekat keberadaan kita. Jangan kita malah terperosok kedalam lembah kehinaan sebagaimana peringatan Allah : “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al A’raaf, 7:179). Kita bukan ternak, tapi insan mahluk, hamba Allah (Abdullah) dengan segala atribut kesempurnaan ciptaanNya, semoga kita bukan termasuk orang-orang yang lalai dan berpulang dalam khusnul khotimah. Amin.

Sumber:
Fauzi Nugroho, E book Pesan Hari ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana komentar Anda?