02 03 04

Senin, 01 November 2010

BERCERMIN PADA DIRI


Bercermin Pada Diri

W. Ihwanul. Hakim

Buruk rupa, cermin dibelah ?
Pepatah di atas tidak usah dipraktekan karena akan mengakibatkan banyaknya pecahan kaca yang berserakan, merugikan para pemulung karena mereka akan terluka kena pecahan kaca, menyusahkan  cleaning service, tukang sampah dan juga merepotkan setiap orang yang berjalan kaki, namun demikian menguntungkan pedagang cermin karena laris terjual.  Cermin merupakan benda yang pernah dipakai hampir oleh setiap manusia,  terutama mereka yang dapat melihat dengan mata normal ketika mereka melihat dirinya sendiri. Cermin tidak pernah bohong, mengungkap apa adanya, tidak pernah pilih kasih pada siapapun yang bercermin, kecuali mengungkapkan cerminan yang sesungguhnya. Namun terkadang manusia justru bercermin ingin menyembunyikan sesuatu yang kelihatan kurang bagus atau ingin mengurangi kejelekan yang terlihat di cermin. Ilustrasi di atas menggambarkan prilaku fisik, untuk mengetahui kekurangan dan kelebihan di depan cermin, sehingga dibuat sedemikian rupa untuk menutupi kekurangan agar lebih percaya diri. Bagaimana dengan “cermin” amal perbuatan kita ? apakah kita sudah mengetahui kelebihan dan kekurangan amal perbuata kita ? sudahkan kita berusaha meningkatkan amal kebaikan untuk menutupi kekurangan yang kita lakukan ? “cermin’ amal kebaikan memang tidak pernah dijual dan diperdagangkan tetapi ada pada hati sanubari setiap insan, hanya mereka yang selalu mendekatkan diri kepada Alloh Swt, menjaga diri dari kemaksiatan dan perbuatan dosa. Mereka adalah orang yang selalu “bercermin” terhadap perbuatan yang dilakukannya, mereka sangat meyakini bahwa Alloh Swt Maha melihat, selalu mengawasi gerak-geriknya. Apapun yang dilakukannya akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak, tidak heran jika mereka menjadikan “cermin” amal sebagai upaya untuk melihat sisi jelek dari dirinya, mengakui bahwa dirinya memiliki kekurangan dalam berbuat kebaikan, tidak pernah merasa lebih baik dan tidak pernah merasa paling tahu, serta tidak pernah merasa paling suci dan paling dekat dengan Alloh Swt. Hal ini selalu disadarinya sebagai hamba yang memiliki keterbatasan dalam totalitas pengabdian kepada Alloh Swt. Penggunaan akal dan nurani (qalbu) dalam “bercermin” diri merupakan keharusan untuk melihat objektivitas tentang diri kita. Bercermin diri seperti ini dilakukan untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Alloh Swt, agar menjadi orang yang selalu mensucikan diri dan mendekatkan diri kepada Alloh Swt dalam kondisi apapun. Hal ini sesuai dengan firman-Nya dalam Al-Qur’an:
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan diri (dengan beriman), Dan dia ingat nama Rabbnya, lalu dia Sholat (sembahyang) (Al-A’laa: 14 - 15).
Dalam ayat lain Alloh Swt mengilhamkan kepada diri manusia dengan kebejatan dan ketaqwaan sebagai cerminan diri manusia. Kebejatan mencakup seluruh aspek yang negatif sedangkan ketaqwaan menjaga manusia dari kebejatan. Ketaqwaan kepada Alloh Swt bisa dipelihara dan ditingkatkan dengan cara mensucikan jiwa (qalbu), sehingga kebejatan dapat dihilangkan dari jiwa manusia, tetapi  sebaliknya mengotori jiwa menjadikan kebejatan bertambah subur dan menipiskan ketaqwaan. Hal ini sesuai dengan firman Alloh Swt.
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”. (Asy-Syam: 7 – 10).
 Kita mungkin kurang beradab memanjatkan doa, memohon dan mengadu kepada Alloh Swt, tanpa pernah “bercermin” terhadap amal yang pernah kita lakukan ? tidakkah kita malu memohon kebaikan kepada Alloh Swt, padahal kita belum dekat dengan Alloh Swt, perbuatan kita terlalu naif dan munafiq, selalu ngomongin orang, iri terhadap apa yang didapatkan orang, dengki terhadap keberhasilan orang, dendam ketika perasaan tersinggung, tidak senang ketika aktivitas kebaikan didahului orang, tidak rela ketika ada yang mengkritik, tidak suka ketika orang mengajak pada  kebaikan karena merasa sudah “pintar”.  Tulisan ini tidak dimaksudkan bahwa berdoa itu percuma atau kita tidak boleh bordoa, tetapi lebih melihat dari sisi objektivitas bahwa apa yang kita lakukan masih jauh dari tuntunan Islam yang di bawa Nabi Muhammad Saw. Kita terlalu lalai dalam mengingat Alloh Swt, padahal Alloh Swt menyuruh untuk mengingat-Nya, sesuai dengan firman-Nya dalam Al-Qur’an.
 “Dan sebutlah nama Rabbmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai” (Al-A’raaf: 205).
Sudahkah kita “bercermin” terhadap keislaman kita ? apakah prilaku sehari-hari kita sudah sesuai dengan tuntunan Islam ? Di zaman modern seperti sekarang ini, Islam ada di mana-mana, di warung kopi orang membicarakan Islam, di bus kota Islam ada, di mimbar Islam ada, bahkan di rapat Islam ada,  tetapi Islamkah kita ? Pernahkah kita mempertanyakan bahwa sholat, puasa dan zakat yang kita lakukan itu ikhlas atau tidak ? tidak pantas rasanya kita mengharap syorga, sedangkan hidup kita masih jauh dari tuntunan agama Islam, hanya sebatas “pemanis bibir” dan tertera di KTP. Ahli tasawuf, Abu Nawas, ketika berdoa tidak pernah meminta syurga, tetapi selalu meminta keridhoan Alloh Swt.
“Ya Alloh Hamba tidak pantas menghuni syurga-Mu tetapi hamba tidak akan kuat menahan siksa neraka-Mu, ampunkanlah dosa hamba”.
Seorang muslim yang menggunakan akal dan nuraninya, akan cepat menyadari bahwa mendekatkan diri pada Alloh Swt dan mencari cara untuk selalu dekat dengan Alloh Swt merupakan suatu keharusan sebagai bukti pengabdian hamba kepada khaliq-Nya.

Perbanyak memperbaiki diri
Bercermin pada diri sendiri atau introsfeksi diri dari kekurangan dan kesalahan yang kita buat bukanlah suatu hal yang susah untuk diucapkan tetapi hal yang tidak mudah untuk dilakukan, namum kita paling mudah dan terbiasa untuk menunjuk dan menyalahkan orang lain. Hal ini dikarenakan tidak banyak yang menyadari kesalahan, kekeliruan dan kekurangan yang dilakukannya selama ini, bahkan mungkin karena sudah terbiasa melakukan kesalahan, hal itu dianggap benar dan biasa. Sebagai seorang manusia yang memiliki banyak sisi kelemahan sepatutnyalah banyak melihat sisi buruk dan jelek pribadi kita, sehingga ada upaya untuk terus memperbaiki, menambah, dan mengembangkan diri agar menjadi lebih baik dalam segala hal. Supaya kita tidak terjebak oleh nafsu yang menyesatkan manusia, untuk mempercayai bahwa sesuatu yang buruk atau negatif nampak seperti sungguh-sungguh suatu kebaikan. Kita jadikan bercermin diri sebagai kebutuhan untuk evaluasi diri, memperbaiki diri, dan mengembangkan diri serta meningkatkan potensi positif diri kita. Agar kita menjadi umat yang memiliki kualitas akhlak dan intelektual tinggi di atas umat yang lain. 
Perlu kita sadari bahwa rata-rata usia manusia untuk menghuni dunia tidaklah lama, tidak akan mungkin sampai seribu tahun. Kapan lagi kita akan mulai berbuat kebaikan jika tidak kita mulai dari sekarang, ataukah kita akan menunggu sampai usia lanjut. Mungkin kita perlu mengingat pantun di seperti ini.
“Kelapa muda kupas-kupasin, kelapa tua tinggal batoknya
massa muda puas-puasin, masa tua tinggal bongkoknya”
 Apakah ada jaminan dari Alloh Swt usia kita sampai tua ? Pernahkah kita mengkalkulasikan berapa banyak amal kebaikan yang kita kerjakan ? lalu berapa banyak pula perbuatan tercela yang kita lakukan ? kemungkinan besar jawabannya adalah amal kebaikan kita lebih banyak, karena kita merasa telah banyak berbuat amal, talah berjasa dan telah lama menghuni dunia. Memang, Hanya Alloh Swt yang Mahatahu ! tetapi tidak salah seandainya kita mengkalkulasikan amal baik dan buruk yang kita lakukan, agar kita menyadari bahwa untuk mendapat keridhoan Alloh Swt, tidak mudah tetapi perlu memperbanyak amal kebaikan serta menghilangkan perbuatan tercela, agar kita tidak terjerumus kedalam kehancuran dunia akhirat
Manusia  bisa terjerumus oleh dua sebab yaitu keserakahan dan kesombongannya. Bukankah Nabi Adam As diusir oleh Alloh Swt karena keserakahannya ketika ingin menikmati buah khuldi yang dilarang oleh Alloh Swt, padahal sudah disediakan aneka macam makanan yang halal. Begitu juga dengan syetan diusir oleh Alloh Swt karena kesombongannya tidak mau mengakui eksistensi manusia sebagai makhluk yang sempurna ciptaan Alloh Swt, tetapi syetan merasa dirinya makhluk yang lebih tinggi derajatnya karena diciptakan dari api, sedangkan manusia dari tanah.
Sudah saatnya kita pererat tali persaudaraan kita, saling nasihat-menasihati dalam kebenaran, tingkatkan amal kebaikan kita, perbanyak mengingat kematian agar hati kita luluh melihat kefanaan, perbanyak dzikir agar hati bersih terjaga dari sifat iri, dengki, dendam dan perbuatan jahat lainnya.
Tidak ada kata terlambat untuk berbuat baik dan menegakan kebenaran. Ingat,  Alloh Maha melihat apa yang kita lakukan ! Akhirnya kami ingin mengutip pepatah Arab, yang berbunyi:
“Janganlah anda merasa kecewa jika tidak mengerti 
tetapi bersedihlah karena tidak belajar”.
Sumber:
Al Qur'an
Disarikan dari berbagai sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana komentar Anda?