02 03 04

Senin, 07 Februari 2011

Makna Dibalik Kunci Ilmu itu Membaca


Makna Dibalik Kunci Ilmu itu Membaca

W.Ihwanul Hakim


Pentingnya Membaca

Ketika 14 abad yang lalu, Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, dengan surat Al-Alaq yang pertama turunkan Allah melalui Malaikat Jibril A.S.. Ayat-ayat dalam surat tersebut, menyuruh membaca, Iqra ! Dalam ayat tersebut, Allah menyuruhnya membaca kepada nabi Muhammad, padahal Nabi Muhammad Saw adalah orang yang Umiy (tidak bisa baca), berulang-ulang kata tersebut diucapkan oleh Malaikat Jibril A.S, namun Nabi tetap terdiam, karena tidak memahami apa yang dimaksudkan dalam perintah tersebut, Nabi Muhammad Saw baru dapat memahami setelah Allah Swt mengajari dan menunjukan kebesaran-Nya melalui Malaikat Jibril.A.S menuntunnya, Firman Allah tersebut berbunyi:

“Bacalah ! dengan menyebut nama Tuhan Yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah ! dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”. (QS  Al ‘Alaq: 1-5).

Ayat di atas, bukan hanya untuk Nabi Muhammad saw saja tetapi untuk seluruh umat manusia yang berakal, sebagai petunjuk sekaligus perintah Allah kepada manusia untuk “membaca” ayat-ayat Allah. Agar manusia tidak mengalami kegelapan jalan hidupnya di dunia ini dan di akhirat kelak. Allah menyuruh manusia untuk “membaca” baik ayat yang tertulis maupun yang terhampar di alam semesta yang maha luas ini. Membaca harus dijadikan sebagai kebiasaan dan kebutuhan hidup sehari-hari, sebagai sarana untuk menambah wawasan, mencari dan menggali ilmu serta mengasah ketajaman analisis. Ketertinggalan umat Islam, salah satu penyebabnya adalah kurangnya membaca, yang menyebabkan tidak “mencintai” buku. Melihat buku kecil dan tipis sudah malas, terlebih buku yang besar dan tebal, baru melihat saja malasnya minta ampun, apalagi membacanya. Umat Islam baru dapat menjadikan “membaca” sebagai sebuah keinginan, belum dapat menjadikan “membaca” sebagai suatu kebiasaan dan kebutuhan. Disinilah kita tertinggal dengan masyarakat negara maju seperti; Jepang, Canada, Jerman, Perancis dan belanda yang menjadikan membaca sebagai bagian dari kebutuhan hidup sehari-hari, padahal mereka sebagian besar tidak beragama Islam, sedangkan yang beragama Islam dan  mendapat perintah dari Allah untuk “membaca” tidak “membaca”. Tidak  mendapat perintah saja mereka rajin membaca apalagi jika mendapat perintah langsung.
Sedikit sekali atau mungkin jarang dalam keseharian, kita menghabiskan waktu luang untuk membaca buku, ketika naik kendaraan umum, di halte bahkan di kantor jarang atau mungkin tidak sama sekali membaca buku. Kita lebih banyak mengobrol dan “membahas orang”. Kondisi seperti ini tidak hanya dialami oleh para pelajar, ibu rumah tangga, pekerja kantoran, dan lain sebagainya, tetapi juga dialami oleh bapak/ibu guru yang katanya sebagi pendidik dan pengajar di sekolah. Bagaimana kita dapat membiasakan para pelajar untuk membaca buku, lha ! bapak/ibu gurunya juga tidak pernah baca buku, bahkan lebih banyak ngobrol dan “membahas” orang di kantor ? Banyak waktu digunakan untuk ngobrol yang tidak karuan dan mungkin ditambahin bohong ? Bukankah ini perbuatan yang mensia-siakan waktu dan kurang sekali manfaatnya ? Bukankah “membahas” orang itu perbuatan dosa ? Bahkan dikatagorikan sama dengan pemakan bangkai daging saudaranya sendiri. Bagaimana kita dapat menambah ilmu, kalau buku yang kita pegang saja tidak pernah kita baca ? kita hanya  tahu judulnya saja. Janganlah mengharap kita mampu mencetak generasi yang berwawasan luas dan cerdas, mampu mengejar ketertinggalan dari negara maju. Karena kita sendiri tidak mebiasakan untuk “mencintai”  buku. Wajar saja kalau sampai dengan hari ini kita hanya baru mencetak generasi yang baru bisa coart-coret, setelah lulus dari sekolah. Apakah ini tidak menjadikan kita harus banyak introsfeksi

Disinilah Allah memberikan  bekal akal kepada manusia sebagai sarana untuk “membaca” tabir rahasia alam ciptaan Allah Swt. Akal manusia berada dalam otak yang tersimpan rapih pada kepala, otak ini diciptakan Allah Swt, dengan penuh kesempurnaan. Secara biologis, otak terdiri 3 bagian yaitu; bagian otak kiri, bagian otak kanan dan bagian otak kecil atau otak bawah sadar. Masing-masing bagian otak ini memiliki karakteristik dan tugas yang spesifik. Menurut  AM Rukky Santoso (2001), terdapat  30 milyar  sel pada otak, setiap bagian sel juga membentuk jaringan kerja sama yang sangat rumit melalui bagian-bagian kecil yang disebut neuron. Secara keseluruhan jaringan kerjasama sel dan neuron ini tidak pernah berhenti bekerja seumur hidup manusia. Ini adalah suatu jaringan super canggih yang berlangsung terus menerus sepanjang hidup dan tidak mungkin dapat ditandingi oleh teknologi apapun yang pernah diciptakan manusia. Inilah Kekuasaan, Kebesaran dan Keagungan  Allah Swt, yang diperlihatkan dalam salah satu bagian tubuh manusia. Otak yang diciptakan Allah dengan sangat spesifik, penuh karakteristik dan keistimewaan memiliki fungsi yang berbeda. Otak kiri (left cerebral hemisphere) bertugas berpikir secara kognitif dan rasional, yaitu yang bersifat; logis, matematis, analitis, realistis, vertikal, kuantitatif, intelektual, objektif dan mengontrol sistem motorik bagian tubuh kanan. Otak kanan (right cerebral hemisphere) bagian otak yang berkerja secara afektif dan relasional, memiliki karakter kualitatif, impulsif, spiritual, holistik, emotional, artistik, kreatif, subjektif, simbolis, imajinatif, simultan, intuitif dan mengontrol gerak motorik tubuh sebelah kiri. Sedangkan otak kecil (otak bawah sadar) bertugas bagaikan mesin perekam otomatis yang canggih, seluruh kejadian yang berlangsung pada kehidupan kita baik yang disadari atau tidak, terekam dalam otak kecil. Otak kecil yang bernama Cerbelum sering kali mengagetkan kita dengan memberi informasi yang cepat secara tiba-tiba, mengenai sesuatu yang tidak kita sadari sebelumnya. Otak adalah organ tubuh yang sangat dahsyat dalam kehidupan manusia. Kehebatan otak manusia masih merupakan sebuah misteri dan belum diketahui seluruhnya oleh para peneliti, yang mengkhususkan diri pada penelitian otak. Hasil penelitian para ahli syaraf telah menyatakan bahwa manusia selama hidupnya hanya memanfaatkan paling banyak 10 % dari total kemampuan otak yang didukung 30 milyar sel dan neuron. Betapa Maha Kuasanya Allah Swt, yang menciptakan semua ini dengan penuh Keagungan dan Keadilan. Sudahkah otak, kita gunakan untuk “membaca” ayat-ayat Allah ? Sudahkah otak, dipakai untuk bersyukur kepada Allah Swt, dengan memanfaatkannya untuk memikirkan, “membuka” dan menjelaskan rahasia alam ? Ataukah hanya kita simpan dalam kepala sebagai perhiasan hidup, karena sangat berharga ? Umat ini tidak akan bangkit jika otak yang berisi akal, tidak kita optimalkan pemakaiannya, padahal ini titipan dan karunia dari Allah kepada manusia yang harus dipertanggungjawabkan.
Kita sangat perlu memiliki logika terapan seperti itu dalam kehidupan kita. Sebab, jika sekedar otak, banyak tersedia di negeri ini. Yang tidak ada ialah otak yang memiliki kemauan dan kesadaran untuk bangkita dari keterpurukan  IPTEK dan moral.
Allah mengajarkan kepada manusia melalui kalam-Nya, makna kalam disini sangat luas sekali yaitu kalam yang tertulis (Al-Qur’an) dan kalam yang tidak tertulis, yang berupa alam semesta beserta segala isinya. Mari   kita renungkan kembali dan melihat kebenaran ayat-ayat Al-Qur’an  dengan penuh kejujuran, jangan membuat pembelaan diri untuk menghindar dari kebenaran yang nyata yang ditunjukan oleh Allah Swt terhadap makhluknya.
Kreativitas, dan inovasi pemikiran dan kajian umat, terkadang di serang habis-habisan tanpa ikut meneliti terlebih dahulu kebenarannya dengan alasan bid’ah.
Sepanjang agama lebih banyak  terdiri atas cara merasakan (perasaan) dan tidak sekedar atas serangkaian kepercayaan, ilmu tidak dapat menyentuhnya. Sepanjang mengenai Nabi-nabi dan pengikut-pengikutnya, kepercayaan muncul dalam berbagai bentuknya dalam dogma-dogma tertentu dan cara berpikir yang khas mengenai tujuan umat manusia (Qs At Taubah :128).
Pertanyaan yang perlu kita ajukan kepada diri kita adalah: Berapa lamakah Allah memberikan umur untuk hidup di dunia ini ? Manakah yang banyak kita lakukan, perbuatan baik atau buruk ?  Bekal amal manakah yang akan dibawa kita nanti ? Patutkah kita membanggakan diri dan sombong, dihadapan semua makhluk ciptaan Allah Swt, sementara kita adalah makhluk yang fana ? ”Sesungguhnya shalatku, hidup dan matiku, hanya bagi Allah Tuhan semesta alam” (QS 6: 162).
Erich Fromm dalam Abdul Hamid Murshi (1997) membatasi lima klasifikasi kepribadian manusia, yaitu;
1.      Kepribadian yang bersifat pasrah dan pasif. Ia yakin apapun yang diinginkannya harus tercapai tanpa usaha atau kegiatan untuk memperolehnya, dan harus diperoleh dengan cara pasif dan pasrah.
2.      Kepribadian vested interest. Berusaha  memperoleh segala sesuatu dari orang lain denga cara tipuan dan kekerasan, dan menganggap semua orang sebagai sasaran baginya. Ia merasa lebih tertarik dan menyenangi segala sesuatu yang dikuasainya dari pada sesuatu yang diperolehnya dari jerih payahnya sendiri. Usahanya hanya menipu dan melanggar hak orang lain.
3.      Kepribadian yang suka menyimpan. Bersifat lemah iman terhadap setiap perolehan sesuatu dari luar. Ketenangannya bergantung pada simpanan dan tabungannya. Ia kikir harta, pikiran dan perasaan.
4.      Kepribadian yang berorientasi pasar. Menyerupai kepribadian penjual, menurutnya orang yang sukses adalah orang yang bernilai guna.
5.      Kepribadian produktif. Manusia bukan hanya makhluk berakal dan makhluk sosial, tetapi juga makhluk produktif. Dengan mengeksplorasi akal dan daya imajinasi, manusia dapat mengubah bahan mentah menjadi bahan produksi. Kemampuan manusia untuk mendayagunakan potensi rasio, perasaan, indera dan fasilitas-fasilitas lain pada dirinya.

Bukan berarti bahwa kita mendahulukan hal-hal yang bersifat duniawi dari pada akhirat, tetapi hendaknya kita membebaskan yang disebut tekemudian itu dari berbagai tipu muslihat yang membelengu diri kita yang sedang di tujukan ke arah masyarakat Islam.
Adalah tidak bijaksana jika kita berkata dua tambah dua sama dengan empat, dan sesudah itu kita mati kelaparan, sementara ada orang yang mengatakan lain diluar itu dua tambah dua sama dengan lima dengan itu mereka dapat menikmati kekayaan
“Sedikit kerja dengan ilmu berarti banyak, dan banyak kerja dengan kebodohan berarti sedikit”.
Hendaknya kita tidak menegaskan prinsip ini berdasarkan keimanan semata, tetapi hendaknya penegasan kita tersebut kita tempatkan dalam persektif rasional dari kehidupan kita.
Kalau kau bersedih kehidupanlah yang bersedih,
Sebab kesedihan tak sanggup menyentuh jiwamu
(Emha Ainun Nadjib)

Lebih lanjut Abdul Hamid Mursi (1997)  mengatakan bahwa, pekerjaan manusia meliputi asfek rasio dan fisik.
           
Hal itu menunjukan bahwa kita akan berakhir, tidak ada makhluk yang abadi
“…Dan Allah telah mengeluarkan kamu dari perut ibumu tidak mengetahui apa-apa, kemudian Allah memberi kepada kamu pendengaran dan penglihatan serta pikiran (perasaan) supaya kau bersyukur” (QS An Nahl: 78).

Sumber:
1.       Al Qur’an 
2.     Berbagai sumber pendukung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana komentar Anda?