02 03 04

Selasa, 04 Januari 2011

MORFOLOGI DASAR LAUT INDONESIA


MORFOLOGI DASAR LAUT INDONESIA
Oleh: Mulyana W. dan M.Salahuddin

Indonesia adalah negara kepulauan yang dipersatukan oleh wilayah lautan dengan luas seluruh wilayah teritorial adalah 8 juta km2, mempunyai panjang garis pantai mencapai 81.000 km, hampir 40 juta orang penduduk tinggal di kawasan pesisir. Luas wilayah perairan mencapai 5,8 juta km2 atau sama dengan 2/3 dari luas wilayah Indonesia, terdiri dari Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) 2,7 juta km2 dan wilayah laut territorial 3,1 juta km2. Luas wilayah perairan Indonesia tersebut telah diakui sebagai Wawasan Nusantara oleh United Nation Convention of The Sea (UNCLOS, 1982).

Gambaran Umum
Indonesia adalah negara kepulauan yang dipersatukan oleh wilayah lautan dengan luas seluruh wilayah teritorial adalah 8 juta km2, mempunyai panjang garis pantai mencapai 81.000 km, hampir 40 juta orang penduduk tinggal di kawasan pesisir. Luas wilayah perairan mencapai 5,8 juta km2 atau sama dengan 2/3 dari luas wilayah Indonesia, terdiri dari Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) 2,7 juta km2 dan wilayah laut territorial 3,1 juta km2. Luas wilayah perairan Indonesia tersebut telah diakui sebagai Wawasan Nusantara oleh United Nation Convention of The Sea (UNCLOS, 1982).
Wilayah pantai dan laut Indonesia yang selain luas merupakan peluang dan sekaligus tantangan karena dengan semakin terbatasnya sumberdaya mineral dan energi di darat dan faktor resiko kerusakan lingkungan di darat jauh lebih besar maka perhatian kegiatan riset geologi dan geofisika ditujukan ke laut sebagai harapan dimasa datang yang dapat mengungkapkan berbagai kekayaan sumberdaya mineral dan energi. 
Fisiografi Dasar Laut
Secara fisiografi wilayah laut Indonesia dapat dibagi menjadi tiga wilayah , yaitu: [1]daerah Paparan Sunda terletak di bagian barat Indonesia; [2] Paparan Sahul di bagian timur Indonesia dan; [3] zona transisi. Paparan Sunda meliputi daerah-daerah perairan Selat Malaka, Laut Cina Selatan dan Laut Jawa dengan kedalaman rata-rata mencapai 120 meter membentuk paparan sedimen yang tebal dengan penyebaran yang cukup luas. Paparan Sahul meliputi daerah-daerah di selatan Laut Banda dan Laut Aru. Daerah ini sangat dipengaruhi oleh sistem benua Australia, sehingga sedimen di daerah ini ditafsirkan sebagai sedimen asal kontinen Australia. Sedangkan daerah transisi meliputi daerah-daerah perairan Laut Sulawesi, Laut Maluku, Laut Banda dan Laut Flores. Perbedaan yang menyolok antara Indonesia bagian barat dan Indonesia bagian timur adalah batas antara kaduanya barimpit dangan apa yang semula disebut sebagai garis wallace (wallace line). Garis ini, yang membujur dengan arah utara-selatan melalui Selat Makasar dan Selat Lombok (antara P. Bali dan P. Lombok), semula adalah suatu garis yang mumbatasi fauna dan flora yang berbeda antara bagian timur dan barat, tetapi garis ini ternyata juga mamperlihatkan bentuk fisiografi yang barbeda.
Dari kenampakkan fisiografi wilayah laut Indonesia maka dapat ditafsirkan secara geologi bahwa perkembangan tektonik antara Indonesia bagian barat dan bagian timur mempunyai perbedaan. Indonesia bagian barat  terdiri dari beberapa pulau-pulau besar di mana antara pulau satu dengan lainnya dipisahkan oleh laut dangkal  serta mempunyai tatanan tektonik yang lebih saderhana apabila dibandingkan dengan Indonesia bagian timur yang terdiri dari sederetan pulau pulau berbentuk busur lengkung dengan  perbedaan bentuk relief yang sangat menonjol dan dipisahkan oleh laut dalam,  yang mempunyai palung-palung dalam dan pegunungan yang tinggi sehingga mempunyai tatanan tektonik lebih rumit.

Morfologi Dasar Laut
Panorama permukaan dasar laut atau morfologi merupakan gambaran dasar laut sebagaimana yang ada di daratan, seperti kenampakkan dari : pegunungan, gunung api, lereng, dataran, lembah, parit dan channel. Bentuk morfologi tersebut, umumnya berkaitan dengan proses-proses geologi dari pembentukan dan perkembangannya baik secara sendiri-sendiri maupun secara kelompok. Berdasarkan peta batimetri Indonesia, pola batimetri yang berkembang memperlihatkan morfologi dasar lautnya mengikuti garis pantai dan pola hasil tektonik (Gambar 1: Peta Batimetri Indonesia). Di sekitar Paparan sunda (Selat Malaka, Laut Cina Selatan dan Laut Jawa) berkembang morfologi paparan yang mengikuti garis pantai. Sedangkan di Kawasan Timur Indonesia (KTI) memperlihatkan kedalaman yang besar, mulai 2000 meter (Timor Trough) hingga lebih 7000 meter (Cekungan Weber). Pada umumnya cekungan di KTI yang terbentuk sangat bervariasi dan terisi oleh sedimen laut dalam yang sangat tipis. Daerah tinggian memperlihatkan bentuk tojolan-tojolan dan lembah sempit yang tajam sebagai penciri utama batuan dasar (Basement Rock). Bentuk-bentuk tersebut tidak terlepas dari pengaruh tumbukan intra mikrokontinen Australia dengan busur Kepuluan Banda. Proses tersebut masih berlangsung hingga saat ini sehingga sedimen-sedimen yang ada selain terdorong ikut penyusupan juga terakresi bahkan membentuk gunung api bawah laut (Sub-marine volcano). Posisi kawasan Indonesia yang terletak pada jalur tektonik tersebut telah memberi pengaruh yang besar terhadap bentukan roman dan morfologi dasar laut Indonesia. Pengaruh langsung tersebut adalah terbentuknya wilayah paparan, tepi margin dan busur kepulauan. Kondisi morfologi dasar laut Indonesia mempunyai perbedaan mencolok antara kawasan barat  dan kawasan timur. Laut Jawa yang merupakan sistem Paparan Sunda (Sunda Shelf) mempunyai kedalaman dasar laut rata-rata 130 meter, sedangkan Laut Flores dan Laut Banda yang merupakan laut tepi mempunyai kedalaman lebih 5000 meter. Karakteristik laut dan samudra secara umum didasarkan pada kedalaman dasar laut yang dengan mudah dapat diamati dari nilai garis kontur peta batimetri. Untuk sistem samudra terdapat hubungan empiris yang memperlihatkan hubungan antara kedalaman dan umur pembentukannya. Makin tua umur samudra serta proses-proses geologi yang berjalan, akan makin dalam dasar laut tersebut.

Daftar Pustaka

British Petroleum Exploration Operating Co.Ltd, 1991, Peta Fisiografi Dasar Laut Indonesia dan Sekitarnya Gabungan Data Satelit SEASAT dan GEOSAT.
Bakosurtanal dan Departemen Kelautan dan Perikanan, 2003, Peta Batas Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Chase,T.E, Seekins,B.A., Youngs, J.D., Prasetyo, H.,1994, Peta Batimetri Indonesia dan Perairan Sekitarnya.
Hardjawidjaksana, K. dan Kristanto, N.A., 1999, Offshore Mineral Resources Map of Indonesia. Pusat Pengembangan Geologi Kelautan, Bandung.
NOAA, 2003, Citra Indonesia.
Prasetyo, H., 1996, Profil Kelautan Nasional : Menuju Kemandirian, Edisi kedua. Panitia pengembangan Riset dan Teknologi Kelautan serta Industri Maritim.
Salahuddin, M., Lubis, S., Makmur, A., Astjario, P., 2001, Pangkalan data Geologi dan Geofisika Kelautan di Wilayah Perairan Indonesia. Pusat Pengembangan Geologi Kelautan, Bandung (Tidak dipublikasikan).
T.E, H., 1996, Profil Kelautan Nasional : Menuju Kemandirian, Edisi kedua. Panitia Pengembangan Riset dan Teknologi Kelautan serta Industri Maritim.
Wilayah pantai dan laut Indonesia yang selain luas merupakan peluang dan sekaligus tantangan karena dengan semakin terbatasnya sumberdaya mineral dan energi di darat dan faktor resiko kerusakan lingkungan di darat jauh lebih besar maka perhatian kegiatan riset geologi dan geofisika ditujukan ke laut sebagai harapan dimasa datang yang dapat mengungkapkan berbagai kekayaan sumberdaya mineral dan energi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana komentar Anda?