02 03 04

Rabu, 05 Januari 2011

Menimbang Amal Kita


Menimbang Amal Kita


W. Ihwanul Hakim

Setiap individu muslim harus menghargai dirinya sendiri, tidak boleh menganiyaya orang lain, jangan mau dianiyaya oleh orang lain dan tidak boleh menghambakan diri pada manusia, tapi harus menjadi seorang pribadi yang merdeka, baik pemikiran maupun aktivitas dan tindakannya sehari-hari. Ini bukan berarti bahwa dia bebas tanpa terikat oleh aturan atau semena-mena. Merdeka dihadapan manusia, tapi taat dan tunduk pada aturan Allah untuk keselarasan, keserasian, kedamaian, dan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.  Seorang muslim mempunyai tanggungjawab untuk semua kejadian di sekitarnya dan berusaha untuk menegakan yang hak dan menghancurkan yang bathil pada setiap saat dan kesempatan waktu. Imbalan dari perbuatan ini di terangkan dalam Al Qur’an:

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh pada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, dan  beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; diantara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS 3:10).

Tidaklah cukup bagi kita sebagai seorang muslim hanya sekedar mengagung-agungkan nilai-nilai Islam dengan kata-kata, slogan-slogan, atau atribut-atribut lainnya yang menunjukan hanya sebuah kemasan identitas saja, tanpa menunjukan esensi  Islam itu sendiri, seharusnya kita membekali dengan sesuatu yang membuat kita (seorang muslim) sanggup menghadapi semangat zaman yaitu dengan kedisiplinan, keikhlasan, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dan taqwa kepada Allah SWT.
Seorang yang punya keyakinan baik kepada Allah SWT, ia akan semakin berlindung kepada Allah, tidak akan menggoyahkan keyakinannya, apapun yang dihadapinya dalam hidup ini, malah akan semakin teguh pendiriannya dan semakin dekat kepada Allah. Masalah apapun yang dihadapi baik yang menyenangkan maupun yang dianggap tidak menyenangkan akan diterima dengan penuh keikhlasan, dan selalu dikembalikan kepada Allah SWT. Masalah pada hakikatnya adalah bagian karunia dari Allah, dengan masalah berarti kita sedang mengalami pendidikan (dididik) oleh Allah untuk semakin mengerti hidup, semakin menambah pengalaman, semakin dewasa, tambah ilmu dan semakin luas wawasannya. Allah berjani dalam Al Qur’an bahwa;

“…..dan barang siapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Allah akan memberikan jalan keluar baginya” ( QS At Thalaq: 3).

Peningkatan iman seorang muslim kepada Allah SWT berbanding lurus dengan bertambahnya amal-amalnya, oleh karena itu segala aktivitas seorang muslim harus berdasarkan pada kemanfaatan atau nilai guna dari apa yang dilakukan. Dalam beraktivitas sehari-hari, apakah itu berbicara, berpikir dan bertindak, atau apa saja yang kita lakukan, hendaklah kita bertanya dulu pada diri sendiri apakah yang kita lakukan itu bermanfaat atau tidak, merupakan amal kebaikan atau bukan, merugikan orang lain atau tidak ? Oleh sebab itu, disinilah pentingnya kita menjaga diri kita, menjaga dan memelihara keimaman kita yang sudah tertananm dalam hati dan sanubari kita.
Menurut ajaran Islam, kekuatan pengetahuan moral secara otomatis bertanggungjawab kepada manusia . Dalam moral Islam hidup dan mati kita adalah ikhtiar atau berusaha untuk mengumpulkan amal kebaikan sebagai bekal untuk mencapai keridhoan Allah. Ajaran Islam, adalah rahmatan li’alamin oleh sebab itu, dalam kehidupan bermasyarakat dimanapun kita berada, sebagai seorang muslim  minimal harus memiliki empat kemuliaan. Keempat kemuliaan ini merupakan sebuah keharusan yang perlu ditanamkan dalam kehidupan kita sehari-hari, sehingga kita dapat merasakan keindahan, kedamaian, kebahagiaan dan manfaatnya. Keempat kemuliaan tersebut meliputi;
Pertama jika kita berbuat baik atau berbuat kebaikan kepada orang lain, jangan diingingat-ingat kebaikan tersebut, lupakan bahwa kita pernah berbuat baik pada orang lain, agar kita terus selalu berbuat baik kepada siapapun, tanpa harus dihitung-hitung kebaikan tersebut.
Kedua jika kita berbuat jahat atau berbuat kejelekan pada orang lain, ingat-ingatlah kejelekan atau kesalahan tersebut agar kita selalu meminta maaf dan bertaubat kepada Allah SWT sehingga  tidak mengulangi lagi kejelekan atau kesalahan yang pernah kita buat tersebut.
Ketiga jika orang lain berbuat baik pada kita ingat-ingatlah kebaikan tersebut, jangan lupakan kebaikan tersebut sehingga kita selalu mengenang amal kebaikan tersebut, agar terjalin hubungan silaturahmi yang semakin erat, tali silaturahmi tersebut tidak putus tapi diperluas ditempat lain serta kita terpacu untuk selalu berbuat amal kebaikan.
Keempat jika orang lain pernah berbuat kesalahan atau kejelekan kepada kita lupakan saja kesalahan atau kejelekan tersebut sehingga kita tidak pernah dendam, tidak dengki dan hati kita selalu bersih, yang ada dalam diri kita hanyalah berbuat amal kebaikan, segala sesuatu kita tanggapi dengan penuh prasangka baik.
 Nilai-nilai inilah yang harus selalu ditanamkan pada setiap insan,sehingga akan terjalin kedamaian, rasa aman dan tercipta persaudaraan yang hakiki diantara sesama manusia. Kita tidak akan menemukan lagi permusuhan, perkelahian dan pertumpahan darah antar sesama manusia. Kita juga mungkin tidak akan menyaksikan pembantaian umat manusia, saling melenyapkan anatr suku bangsa tidak akan kita saksikan lagi. Yang menjadi pertanyaan secara sederhana adalah Sanggupkah kita menanamkan dan  melakukan dalam kehidupan kita sehari-hari, ? ini pertanyaan yang mudah dikatakan tetapi susah dijawab dengan realisasi nyata dalam kehidupan sehari-hari. Kita harus memulainya dari diri kita sendiri, membangun pribadi yang Qur’ani, tanpa setiap muslim memulainya ini hanya akan menjadi sebuah angan-angan belaka yang tidak ada artinya apa-apa. Sekarang saatnyalah kita membangun kembali peradaban yang Islami yang berdasarkan pada Al qur’an dan Hadits.
Peradaban manusia yang sudah meninggalkan kejahiliyahan, menuju ke alam yang terang benderang dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, merupakan sumbangan Islam  yang paling berarti bagi dunia, peradaban ini berfungsi membimbing manusia dalam menjalankan kehidupan di atas dasar ajaran agama yang kemudian menajamkan kepada kehidupan manusia serta menaikan derajatnya. Peradaban yang konstruktif itu membantu menjinakan kekerasan/keliaran manusia.
Menurut pandangan Ibnu Khaldun, jahat adalah sifat yang paling dekat dengan manusia apabila dia gagal  dalam meningkatkan kualitas adat istiadatnya. Tidak mudah memang bagi kita untuk selalu berada pada jalur yang benar, hanya orang-orang yang sabar dan taqwa yang mampu menahan diri, untuk tidak terjerumus kedalam kejahatan atau keliaran nafsu manusia, yang dapat bertahan pada jalan yang benar.

“Sesungguhnya allah itu lembut dan menyukai kelembutan. Dan ia memberikan sesuatu pada kelembutan yang tidak diberikan pada kekerasan dan sesuatu yang tidak diberikan kepada selainnya.” (HR; Muslim).

Mampu menahan diri dan kuat untuk tidak menyerah terhadap tekanan dalam menyatakan suatu kebenaran. Bekerja dalam bidang apa saja harus di sertai dengan jiwa yang penuh keikhlasan, dimulai dari permulaan sampai titik akhir tanpa terpotong-potong.  Seperti halnya membaca sebuah buku yang bermanfaat, untuk menambah wawasan keilmuan bagi seorang muslim merupakan sebuah kehrusan. Membaca sebuah buku tidak boleh loncat-loncat tapi harus konsisten dari awal sampai akhir sehingga tahu isi buku tersebut. Inilah salah satu contoh keikhlasan, kesabaran dan kesederhanaan dalam bentuk yang simpel.
Kesabaran tidak berarti aktivitas lambat, tetapi penuh dengan kecermatan dan teliti, tekun, sistematis, tanpa tergesa-gesa. Kesabaran berarti pula melakukan aktivitas dengan giat dan sekuat-kuatnya, berusaha semaksimal mungkin untuk mendapat yang terbaik, tanpa menjurus ke arah aktivitas yang tergesa-gesa. Sedangkan kesederhanaan, merupakan sikap yang harus ditumbuhkan sehingga mencerminkan sikap yang santun, kesederhanaan meliputi kesederhanaan dalam cara berpikir, berpendapat, dan dalam berprilaku atau aktivitas sehari-hari. Sehingga nampak akhlak seorang muslim dalam tindak-tanduknya adalah akhlakul karimah. Salah satu sifat yang harus dijauhkan dari sikap diri manusia adalah ingin populer (popularitas murahan), sifat seperti ini tidak menunjukan kesederhanaan, keikhlasan dan kesabaran. Disinilah nilai-nilai agama diperlukan untuk membentuk pribadi-pribadi yang Rabbani dan Qur’ani. Menurut Yusuf Mudzakir, Agama diyakini seseorang merupakan sumber determinan dalam mendorong semangat dan gairah kerja, adalah sebagai berikut;
Pertama, agama mengajarkan amal saleh, yaitu suatu ajaran yang beraktivitas positif, ghuna menumbuhkan produktivias dan kreativitas seseorang setelah di meyakini dan mempercayai adanya Allah SWT. Amal saleh merupakan realisasi buah keimanan terhadap Allah, tanpa amal saleh keimanan tak dapat terukur.
Kedua, agama mengajarkan niat dalam bekerja, yaitu suatu komitmen ketuhanan untuk bekerja dengan penuh dedikasi (penghambaan) kepadanya. Akibat dari ikatan itu maka dapat medatangkan rasa damai, sejahtera, bahagia tanpa disertai konplik bathin.
Ketiga, agama mengajarka taqwa, yang memberi semangat untuk menunda  kesenangan sementara, karena yakin di kemudian hari dalam jangka panjang akan meraih kebahagiaan yang abadi dan hakiki.
Keempat, agama mengajarkan rasa keikhlasan  dalam bekerja. Ikhlas memiliki makna bekerja yang giat yang disertai perasaan tulus.
Kelima, bekerja bukan hanya memenuhi hasrat lahiriah atau Id semata, tetapi juga memenuhi hasrat bathiniah. Keyakinan, sikap dan prilaku sosial terhadap diri sendiri, terhadap orang lain dan terhadap objek selain manusia terkandung dalam struktur dan sistem nilai yang ada  pada sosio kultur manusia, dimana manusia itu berada.
Dalam hubungan antar sesama manusia, agama Islam memberikan bimbingan yang sangat rasional dan manusiawi, sebagi contoh; amal zariah, sodaqoh, dan infaq, Islam memberikan bimbingan kepada orang-orang yang mampu supaya memberi infaq kepada mereka yang membutuhkan, dibimbingnya mereka (yang akan memberikan infaq) dengan perasaan yang baik dan alami yang telah dididik dan disucikan. Sasarannya dicapai dengan tenang dan lemah lembut, diantaranya meliputi:
1.      Sasaran yang hendak dicapai ialah mensucikan jiwa orang-orang yang berinfaq. Mereka berinfaq dengan jiwa yang ikhlas, merelakan yang diberikannya, dengan mengharapkan tujuan kepada Allah.
2.      Memeberikan jaminan kepada orang-orang yang memerlukan pertolongan itu.
3.      Memobilisasi seluruh jiwasupaya bertenggang rasa dan saling membantu, dengan tidak merasa keberaatan dan tdak merasa bosan.
Ini adalah bimbingan yang halus, menyenangkan dan mengenai sasaran, dengan mewujudkan semua kebaikan. Hal ini seperti dikatakan dalam Al Qur’an:

 “Dan Dia yang memperkenalkan (doa) orang-orang yang beriman serta mengerjakan amal sholeh dan menambah (pahala) kepada mereka dari karunia-Nya.” (As-Syura:26).

Hal ini merupakan sebuah bukti keimanan seorang hamba kepada Tuhannya, tidak dalam bentuk kata-kata semata tetapi dibuktikan dalam aktivitas nyata dalam kehidupan.

“Iman bukanlah angan-angan, tetapi apa yang bersemayam dalam hati dan mewujudkan dalam bentuk amal perbuatan (HR: Ad-Dailami)

Pada era industri ini, kita tidak cukup hanya dengan berkata jujur untuk berlindung dari kekurangan dan kelemahan kita dalam bersaing dengan orang lain, tetapi bagaimanakah refleksi dari keimanan itu, digunakan untuk mewujudkan kesuksesan dan mengejar ketertinggalan. Wallahu’alam.

Sumber:
1.      Al Quran
2.      Hadits Nabi
3.      Berbagai sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana komentar Anda?