Islam Menjungjung Tinggi Akal
W.I Hakim
Dalam kehidupan sehari-hari kita menyebut dan mengakui diri sendiri sebagai manusia religius yang taat pada Tuhan, walaupun terkadang menjalankan aktivitas keagamaan tidak sesuai dengan ajaran agama yang kita anut. Menurut AM Rukky Santoso (2001), Religius dalam pengertian kita adalah spiritual. Kehidupan spiritual kita berjalan seperti sebuah hafalan, memorisasi yang diulang-ulang tanpa makna. Sehingga, tidak heran jika jiwa keagamaan kita, tidak nampak dalam aktivitas kehidupan sehari-hari. Sering kita melihat, manusia yang mengaku penganut setia agama justru menjadi buas dan liar, tindakannya berlawanan dengan ajaran agama yang dianutnya. Peristiwa kebuasan dan keliaran manusia, terkadang dipoles oleh tradisi serta lambang keagamaan untuk melegitimasi perbuatan tersebut. Hal ini dapat kita saksikan dengan banyaknya pembantaian manusia dengan penuh kesadisan, nyawa manusia seolah tidak ada artinya apa-apa. Sedangkan para aktivis HAM, aktivis lingkungan, aktivis binatang dsb, diam seribu bahasa. Mereka lebih suka protes jika ada binatang yang dilukai, lingkungan rusak tanpa mempedulikan jiwa manusia. Apakah untuk menghentikan pembantaian manusia ini, harus menunggu para binatang protes pada kita ? Mungkin suatu saat para binatang akan protes sambil membentangkan spanduk yang bertuliskan.
”Tolong jangan bantai manusia, kasihanilah ! Mereka adalah makhluk yang hampir punah perlu dilestarikan”!
Kehidupan moral kita yang semakin rusak, korupsi dimana-mana, kolusi, nepotisme, pergaulan bebas remaja, narkoba, penodongan, penjambretan, pencopetan dan masih banyak lagi kebejatan moral yang dipertontonkan saat ini yang tidak disebutkan. Padahal mesjid ada dimana-mana, mushola tersebar disetiap kantor begitu juga korupsi mengiringi setiap kantor. Atau mungkin sekarang, aktivitas korupsi sudah ada mesjid. Na’udzubillah ! Kondisi seperti ini dapat terjadi karena manusia mengakses agama hanya sebagai sebuah kebiasaan ritual, seremonial dan tanpa pemahaman spiritual yang mendasar dan menyentuh pada esensi agama. Hal ini memerlukan pemikiran lebih dari sekedar membaca dan menghafal dengan bagian otak kiri yang rasional dan logis.
Agama saat ini hanya dijadikan sarana untuk memenuhi label dan kemasan saja, agar orang bersangkutan tampil rapi serta memenuhi syarat sebagai anggota masyarakat dan sebagai warga negara.
Akal atau rasio manusia harus dipakai dan digunakan untuk berpikir sehingga mampu melahirkan idea dan gagasan yang konstruktif. Akal inilah yang membedakan manusia dengan tumbuhan dan hewan, serta yang membedakan seorang muslim dan orang kafir juga karena akalnya. Seorang muslim menggunakan akalnya untuk membongkar dan menjelaskan rahasia alam ciptaan Allah SWT, akitivitas ini dijadikan sebagai sarana untuk bertaqwa kepada-Nya. Salah satu kemampuan berpikir manusia adalah kapabilitas menalar, mencipta atau berkreasi, meneliti, menyimpulkan secara deduktif dan induktif. Penggunaan akal untuk berpikir, berkreasi, menganalisis berbagai permaslahan serta mencari solusinya, itulah yang menyebabkan manusia dibebani tugas beribadah serta bertanggungjawab menentukan pilihan dan kehendak dalam aktivitas kehidupan di permukaan bumi.
“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk beribadah kepada-Ku” (QS : Al Hujarat 11).
Karena Akal pula yang ada pada diri manusia Allah berkenan mengangkat manusia sebagai khalifah-Nya di muka bumi. Khalifah disini diartikan sebagai manager, manusia sebagai manager dipermukaan bumi, dengan kekuatan akal pikirannya harus mampu mengelola lingkungan alam ini dengan penuh kebijakan, dengan meminimalkan kerusakan. Al Qur’an menjelaskan pentingnya berpikir bagi manusia dalam kehidupan sehari-hari di alam dunia ini. Kitab suci terakhir ini, menjunjung tinggi manusia yang berpikir dan sebaliknya, merendahkan orang yang tidak berpikir pada tingkatan dibawah hewan. Firman Allah dalam Al Qur’an:
”Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apapun”. (QS Al Anfal: 22).
Ayat tersebut mengisyaratkan pada kita betapa pentingnya penggunaan akal pikiran dalam kehidupan manusia sehari-hari serta mencampakan orang yang tidak menggunakan akal pikirannya baik dalam berbagai aktivitas. Akal pikiran harus dimanfaatkan dan dimaksimalkan dalam aktivitas yang positif, memikirkan seluruh ciptaan Tuhan, sebagai sarana untuk mendekatkan diri pada Allah SWT. Mengaktifkan akal pikiran akan membuat garis lurus dalam kehidupan yang akan membentengi manusia dari godaan hawa nafsu dan godaan syetan.
Hawa nafsu dan syetan tidak dapat mengalahkan pikiran orang yang beriman kepada Allah, kecuali jika manusia tersebut bersantai. Seperti yang dikatakan oleh Erasmus, “Orang yang malas dan tanpa kesibukan akan menjadi santapan syetan”.
Perubahan terjadi, jika kita sendiri melakukan perubahan.
Ayat Al Qur’an yang terkenal dalam sebuah perubahan manusia adalah; “Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, jika kaum itu tidak merubahnya”.
Manusia mampu melakukan perubahan, jika ia memiliki niat dan semangat untuk berubah ke arah kemajuan yang positif. Secara psikologi bahwa setiap individu tidak akan mampu mencapai sesuatu tujuan tanpa kesungguhan, tantangan, dan hambatan. Hal ini didasarkan bahwa manusia hidup dalam dunia yang mengharuskan perjuangan dan kesungguhan. Tantangan dan hambatan merupakan tahap awal rintangan yang harus dihadapi manusia untuk mengapai tujuan.
Pada dasarnya manusia, jika dilihat dari tabiat yang dimiliki dan bentuk kejadiannya, manusia diberi bekal kebaikan dan keburukan, serta petunjuk dan kesesatan. Selain bekal yang bersifat fitri dari Allah, terdapat potensi kepekaan dalam diri manusia yang bersifat netral. Manusia yang mendayagunakan potensi tersebut untuk meningkatkan kualitas jiwa, mensucikannya, serta mengembangkan potensi kebaikan dan mengalahkan potensi keburukan, maka ia beruntung, potensi tersebut adalah Qalbu (hati nurani). Sedangkan orang yang memendam, menyesatkan dan melemahkan potensi tersebut, ia sangat merugi Firman Allah:
”Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. ”(QS Asy Syam: 7 – 10)
Sebagai manisfestasi kasih sayang pada manusia, Allah tidak membiarkan bekal fitri dan potensi tersebut dalam bentuk final. Tetapi harus diasah dan dipertajam oleh manusia, untuk menghasilkan kebeningan jiwa dan kecerdasan pikiran. Kehidupan di dunia ini merupakan kesempatan yang diberikan kepada manusia oleh Allah SWT, untuk bekerja dan beramal kebaikan sampai meninggal dunia. Jika ia meninggal dunia maka terputuslah amal ibadahnya kecuali yang disabdakan oleh Rasulullah SAW:
”Jika anak adam meninggal dunia maka terputuslah amalnya kecuali tiga hal, yaitu; anak saleh yang mendoakan orang tuanya, sedekah jariyah dan ilmu yang bermanfaat” (HR; Muslim).
Sedikit apapun pekerjaan dan amal ibadah seseorang, tidak akan disia-siakan oleh Allah SWT, dengan konsep ini nilai-nilai kemanusiaan akan terealisir pada diri manusia yang didasarkan atas eksistensinya sebagai makhluk utama ciptaan Allah, bertanggungjawab dan independen. Ia diberi kesempatan untuk bekerja, mengumpulkan sebanyak-banyaknya amal ibadah di dunia ini dan memanen hasilnya, maka akan terwujudlah ketentraman bersendikan keadilan.
Allah SWT berfirman; ”Dan bahwa kepada Tuhanmulah kesudahan (segala sesuatu) ”
Esensi dari ayat tersebut pada hakikatnya mempunyai nilai-nilai ke-Tuhanan dan dampak-dampak bagi proses pembentukan emosi manusia. Ketika manusia merasa bahwa akhir segala sesuatu adalah Allah, maka ia akan menyadari sejak perjalannya tentang akhir dari kehidupannya.
Setiap aktivitas manusia seharusnya didasarkan pada nilai-nilai tersebut, setelah sentuhan hati dengan penuh kelembutan sampai pada akhir perjalanan, maka Allah kembali mengulangi pemulangannya atas kehidupan. Allah memperlihatkan kepada manusia dampak segala kehendak-Nya, dalam setiap periode, kesempatan dan proses yang terjadi. Wallahu’alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana komentar Anda?